Kamis, 21 November 2013

Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan

BANGSA Indonesia telah hidup dalam masa transisi demokrasi selama 10 tahun. Perlahan namun pasti, angin reformasi malah berbalik arah. Bukan perbaikan yang kita temukan, tapi kebobrokan yang semakin melilit di hampir segala sendi kehidupan. Hasrat untuk melihat Indonesia baru menjadi mimpi di siang bolong. Bangsa Indonesia masih saja bergulat dengan aneka problem yang makin kompleks dan krusial.
Kesenjangan ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, dan keagamaan semakin tajam. Keadilan terasa semakin jauh. Kondisi seperti ini sebenarnya telah diramalkan oleh Raja Kediri, Prabu Joyoboyo (1135-1157). Joyoboyo dikenal sebagai pujangga Jawa yang memiliki pandangan visioner dan mampu melampaui zaman. Konon, Presiden Soekarno juga menyerap visi Joyoboyo ketika ia menghadapi penjajahan Jepang, yang menurut Joyoboyo hanya seumur jagung.

Inkonsistensi Melawan Korupsi
Korupsi yang dituding oleh banyak pihak sebagai pemicu kronis bangsa sampai kini belum juga ditemukan obat penangkalnya. Dia bagaikan lingkaran setan. Alih-alih berkurang, dari waktu ke waktu korupsi malah semakin parah. Korupsi juga sumber dari segala bencana dan kejahatan, the root of all evils. Seorang koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dibandingkan teroris. Uang triliunan rupiah yang dijarah seorang koruptor, misalnya adalah biaya hidup mati puluhan juta penduduk miskin Indonesia. Dalam konteks itulah, koruptor adalah the real terrorist.
Adalah mimpi di siang bolong untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, memperbaiki mutu pendidikan dan lain-lain, apabila korupsi masih dibiarkan menari-nari di depan mata. Upaya untuk memerangi sekaligus memberantas korupsi tidak akan berjalan efektif apabila tidak ada itikad baik (political will) dari aparat penegak hukum untuk menjerat para koruptor dengan jeratan hukum yang maksimal.
Lihat saja sekarang, pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan wajah ganda. Di satu sisi, ada aparat yang menjerat tetapi di sisi lain ada juga yang melepaskan. Minggu lalu, masyarakat dikejutkan dengan dibebaskannya walikota Medan Rahudman Harahap atas dakwaan korupsi. Bahkan, belum lama ini majelis hakim agung juga membebaskan terpidana korupsi mantan direktur PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, Sudjiono Timan.
Korupsi tidak saja akan menghancurkan struktur kenegaraan secara perlahan. Tetapi juga menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang terdapat dalam negara. Korupsi muncul dari struktur birokrasi dan akan berimbas dengan menggerogoti struktur birokrasi tempat korupsi berlangsung.
Dalam hal ini pemerintah, lembaga legislatif, kehakiman, pers, dan masyarakat luas harus menjadi pilar utama dalam upaya mentransformasi budaya baru. Selain fokus pada budaya baru, sebenarnya korupsi bukanlah tidak bisa dilawan. Di beberapa tempat, koruptor menjadi pesakitan oleh inisiatif advokasi masyarakat, karenanya tidak perlu berkecil hati dalam berjuang melawan korupsi. Membangun sugesti positif menjadi hal yang sangat penting. Bagaimana caranya?
Pertama, membuat strategi yang beragam, tidak tunggal. Artinya, membongkar kasus korupsi harus dilakukan dengan langkah yang sistematis dan tidak pernah mengenal kata menyerah. Kalau satu upaya gagal, secara kreatif harus dilakukan cara lain. Satu prinsip, karena pelaku korupsi tidak tunggal, membongkar korupsi juga harus dilakukan secara berjamaah.
Kedua, membangun sinergi antarelemen dan memainkan peran yang solid dalam memberantas korupsi. Yang menarik, di beberapa tempat ditemukan, sinergitas tersebut tidak hanya dilakukan antarsesama elemen masyarakat sipil tapi juga melibatkan unsur para penegak hukum reformis. Keberadaan aparat penegak hukum yang reformis ternyata banyak membantu memaksimalkan kerja-kerja advokasi masyarakat agar tercapai seperti yang diidealkan.
Ketiga, mengintensifkan pemantauan kasus korupsi yang diadvokasi saat memasuki tahapan peradilan. Lembaga peradilan merupakan instrumen hukum, yang di satu sisi krusial posisinya dalam penegakan hukum, tapi pada sisi yang lain rentan dengan praktik judicial corruption (mafia peradilan). Sudah banyak penelitian yang mengungkap fakta tentang maraknya korupsi di peradilan dan semuanya mengarah pada kesimpulan bahwa korupsi di peradilan terjadi pada tiga titik penting, yaitu penanganan perkara, aspek-aspek kelembagaan peradilan, dan intervensi kekuatan ekstra yudisial terhadap kasus-kasus berdimensi politis yang sedang diproses di peradilan.
Keempat, keberhasilan pemberantasan korupsi di masyarakat juga dipengaruhi oleh sikap persisten dan militan. Sikap persisten dan militan ini terbentuk dari penghayatan atas perasaan menjadi “masyarakat korban korupsi” terutama pada masyarakat yang menerima dampak kerugian langsung dari sebuah perilaku korup

Selasa, 02 Juli 2013

The Sense of Effective Leader


“Kepemimpinan harus kuat”. Demikian salah satu judul berita headline news di harian Kompas edisi 15 September 2006. Bolehkah kita setuju dengan pertanyaan tersebut? Jawabannya, tergantung pada paradigma kita dalam melihat kepemimpinan yang kuat dalam alam demokrasi yang sedang dibangun Indonesia saat ini.
Kalau yang dimaksud dengan kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang otoriter dan represif, sudah barang tentu kita tidak setuju. Tetapi kalau kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang efektif, saya yakin kita semua tentu akan setuju.
Judul tulisan ini terkesan klise. Mengada-ada. Seakan-akan meniru konsep seven habits-nya Stephen Covey. Tetapi, marilah kita coba renungkan bersama. Apakah konsep yang saya sampaikan ini masuk akal?
Sense, dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kesadaran dan kecerdasan. Sense juga berarti kemampuan, kesadaran dan kepekaan untuk melakukan penilaian (judgement) . Ini juga berarti seorang pemimpin harus mampu membedakan antara yang penting dan kurang penting. Sense, juga berarti mencerminkan kesadaran dan kepekaan seorang pemimpin terhadap berbagai hal atau nilai-nilai yang menjadi panduan hidupnya.
Pemimpin Galau
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan rasa frustasi, jengkel dan geram atas masih dan makin merajalelanya korupsi di negeri ini. Dalam dialog Forum Pasar Global di Singapura, Selasa (23/4/2013) yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan betapa sulitnya memberangus korupsi di tanah air. Di depan forum internasional itu, Presiden Yudhoyono berterus terang bahwa ternyata memerangi korupsi tak semudah yang ia bayangkan.
Semula Presiden Yudhoyono berpikir penegak hukum bisa memberantas korupsi dalam rentang waktu 10-15 tahun. Namun, pikiran itu ibarat jauh panggang dari api. Ternyata sekadar utopia. Menurut Presiden, Indonesia butuh 20-25 tahun lagi untuk terbebas dari jeratan korupsi. Sebenarnya, bukan kali ini saja Presiden Yudhoyono mengaku frustrasi dalam memerangi korupsi. Pada peringatan Hari Antikorupsi dan Hari HAM di Istana Negara, 10 Desember 2012, Presiden juga melontarkan hal serupa.
Dunia telah sepakat memasukkan korupsi dalam extraordinary crime, kejahatan luar biasa, sehingga perlu kemauan dan usaha luar biasa untuk menghadapinya. Korupsi termasuk kejahatan paling kejam terhadap kemanusiaan sehingga perlu tindakan paling garang untuk melawannya.
Karena itu, kita berharap kata frustasi dalam pernyataan Presiden bukan bermakna harfiah, bahwa bangsa ini sudah lelah dan kendor bahkan berhenti memberantas korupsi. Bila kata frustasi sungguh-sungguh bermakna literal, ia akan kontraproduktif dan berpengaruh buruk bagi mental para penegak hukum.
Belajar dari Pemimpin Dunia
Secara kebetulan, pada akhir September 2006 ada dua tamu yang memiliki nama besar dengan corak kepemimpinan yang kuat mengunjungi Indonesia. Tamu yang pertama adalah Corazon Aquino, mantan Presiden Filipina. Ia dikenal karena perjuangannya menggulingkan diktator Ferdinand Marcos melalui sebuah gerakan berbasis massa yang disebut People Power.
Tamu yang kedua adalah Jeffrey R. Immelt, seorang CEO General Electric (GE). Immelt menggantikan Jack Welch yang bercokol selama lebih dari 20 tahun sebagai CEO GE yang sangat legendaris. Saat itu banyak orang yang menyangsikan kemampuan Immelt untuk lepas dari bayang-bayang kebesaran Jack Welch. Ia diperkirakan tidak akan mampu membawa GE mempertahankan posisinya sebagai perusahaan yang paling disegani di dunia.
Dari dua tamu yang memiliki nama besar di bidang yang berbeda itu, kita dapat belajar tentang kepemimpinan yang efektif. Corazon Aquino, ketika menyampaikan Kuliah Umum di Universitas Pelita Harapan menyebutkan ada empat hal pokok untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif.
Yang pertama adalah kepercayaan diri. Bagaimana seorang pemimpin akan didukung oleh banyak pengikut kalau ia tidak percaya diri dan gampang galau dan frustasi setiap menghadapi masalah? Yang kedua, ia harus memiliki pandangan jangka panjang. Ia harus memiliki visi ke depan untuk membawa bangsanya ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih demokratis, bebas dari segala tekanan dari penguasa yang represif.
Yang ketiga, pemimpin yang efektif tidak akan pernah berhenti belajar. Pemimpin yang tidak mau belajar tidak akan mampu menghadapi perkembangan global yang penuh dengan perubahan dan guncangan. Sedangkan yang keempat, pemimpin bangsa harus melayani rakyat dengan mengesampingkan kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompok.
Adapun Jeffrey Immlet lebih banyak menekankan kepada pentingnya seorang pemimpin menjaga fokus dalam menetapkan dan menjalankan strateginya. Berbeda dengan Jack Welch yang membuat gagasan “disiplin dan penghematan” untuk menyelamatkan GE yang menghadapi ancaman ke depan pada tahun 1981, Immelt menetapkan fokusnya pada “investasi dan inovasi”.
Melalui fokus strateginya ini, Immelt berhasil mempertahankan pertumbuhan perusahaan yang diperkirakan mencapai sekitar US$ 163 miliar di tahun 2006. Ini berarti GE telah mengalami pertumbuhan lebih dari 40 persen sejak ia mengambil alih kepemimpinan GE dari Jack Welch. Lebih dari 50 persen angka penjualan tersebut berasal dari luar Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan Immelt, GE meraih puncak dalam peringkat Global Most Admired Companies versi majalah Forbes.
Para pemimpin kita, baik di tingkat lokal mapun nasional saat ini tidak lagi berwibawa dan memiliki pengikut. Pada saat mereka memerintahkan berantas korupsi, yang terjadi malah sebaliknya, korupsi makin merajalela. Ketika mereka mengatakan perbaikan iklim investasi, yang terjadi iklim investasi menjadi semakin memburuk dan seterusnya.
Mengapa terjadi krisis kepemimpinan di negara kita ini? Salah satunya adalah karena para pemimpin bangsa kita lupa untuk mengamalkan ajaran-ajaran kepemimpinan yang memperhatikan kearifan lokal dalam konteks budaya bangsa, seperti yang telah dipraktikkan para founding fathers negara ini.
Belajar dari kedua tokoh pempinpin di atas, bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat. Kuat dalam arti efektif, bukan represif. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang percaya diri, memiliki visi jauh ke depan, mampu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan sendiri, tidak berhenti belajar, tanggap terhadap perkembangan global, memiliki fokus dalam menjalankan tugasnya serta tidak pernah “mengeluh”.

Kita berharap pernyataan Presiden Yudhoyono menunjukkan masih ada ruang  kesadaran dalam diri bangsa ini betapa diperlukan kemauan, komitmen, upaya dan konsistensi lebih kuat dan lebih total untuk melawan korupsi. Presidenlah yang semestinya memimpin kesadaran, kemauan, serta komitmen secara konsisten dalam memberangus korupsi. Sebab esensi perjuangan melawan korupsi ialah pelaksanaan kata-kata yang diucapkan dalam pidato Presiden tersebut. Rasanya kita tidak perlu malu untuk belajar dari dua tokoh pemimpin di atas.