Selasa, 02 Juli 2013

The Sense of Effective Leader


“Kepemimpinan harus kuat”. Demikian salah satu judul berita headline news di harian Kompas edisi 15 September 2006. Bolehkah kita setuju dengan pertanyaan tersebut? Jawabannya, tergantung pada paradigma kita dalam melihat kepemimpinan yang kuat dalam alam demokrasi yang sedang dibangun Indonesia saat ini.
Kalau yang dimaksud dengan kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang otoriter dan represif, sudah barang tentu kita tidak setuju. Tetapi kalau kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang efektif, saya yakin kita semua tentu akan setuju.
Judul tulisan ini terkesan klise. Mengada-ada. Seakan-akan meniru konsep seven habits-nya Stephen Covey. Tetapi, marilah kita coba renungkan bersama. Apakah konsep yang saya sampaikan ini masuk akal?
Sense, dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kesadaran dan kecerdasan. Sense juga berarti kemampuan, kesadaran dan kepekaan untuk melakukan penilaian (judgement) . Ini juga berarti seorang pemimpin harus mampu membedakan antara yang penting dan kurang penting. Sense, juga berarti mencerminkan kesadaran dan kepekaan seorang pemimpin terhadap berbagai hal atau nilai-nilai yang menjadi panduan hidupnya.
Pemimpin Galau
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan rasa frustasi, jengkel dan geram atas masih dan makin merajalelanya korupsi di negeri ini. Dalam dialog Forum Pasar Global di Singapura, Selasa (23/4/2013) yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan betapa sulitnya memberangus korupsi di tanah air. Di depan forum internasional itu, Presiden Yudhoyono berterus terang bahwa ternyata memerangi korupsi tak semudah yang ia bayangkan.
Semula Presiden Yudhoyono berpikir penegak hukum bisa memberantas korupsi dalam rentang waktu 10-15 tahun. Namun, pikiran itu ibarat jauh panggang dari api. Ternyata sekadar utopia. Menurut Presiden, Indonesia butuh 20-25 tahun lagi untuk terbebas dari jeratan korupsi. Sebenarnya, bukan kali ini saja Presiden Yudhoyono mengaku frustrasi dalam memerangi korupsi. Pada peringatan Hari Antikorupsi dan Hari HAM di Istana Negara, 10 Desember 2012, Presiden juga melontarkan hal serupa.
Dunia telah sepakat memasukkan korupsi dalam extraordinary crime, kejahatan luar biasa, sehingga perlu kemauan dan usaha luar biasa untuk menghadapinya. Korupsi termasuk kejahatan paling kejam terhadap kemanusiaan sehingga perlu tindakan paling garang untuk melawannya.
Karena itu, kita berharap kata frustasi dalam pernyataan Presiden bukan bermakna harfiah, bahwa bangsa ini sudah lelah dan kendor bahkan berhenti memberantas korupsi. Bila kata frustasi sungguh-sungguh bermakna literal, ia akan kontraproduktif dan berpengaruh buruk bagi mental para penegak hukum.
Belajar dari Pemimpin Dunia
Secara kebetulan, pada akhir September 2006 ada dua tamu yang memiliki nama besar dengan corak kepemimpinan yang kuat mengunjungi Indonesia. Tamu yang pertama adalah Corazon Aquino, mantan Presiden Filipina. Ia dikenal karena perjuangannya menggulingkan diktator Ferdinand Marcos melalui sebuah gerakan berbasis massa yang disebut People Power.
Tamu yang kedua adalah Jeffrey R. Immelt, seorang CEO General Electric (GE). Immelt menggantikan Jack Welch yang bercokol selama lebih dari 20 tahun sebagai CEO GE yang sangat legendaris. Saat itu banyak orang yang menyangsikan kemampuan Immelt untuk lepas dari bayang-bayang kebesaran Jack Welch. Ia diperkirakan tidak akan mampu membawa GE mempertahankan posisinya sebagai perusahaan yang paling disegani di dunia.
Dari dua tamu yang memiliki nama besar di bidang yang berbeda itu, kita dapat belajar tentang kepemimpinan yang efektif. Corazon Aquino, ketika menyampaikan Kuliah Umum di Universitas Pelita Harapan menyebutkan ada empat hal pokok untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif.
Yang pertama adalah kepercayaan diri. Bagaimana seorang pemimpin akan didukung oleh banyak pengikut kalau ia tidak percaya diri dan gampang galau dan frustasi setiap menghadapi masalah? Yang kedua, ia harus memiliki pandangan jangka panjang. Ia harus memiliki visi ke depan untuk membawa bangsanya ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih demokratis, bebas dari segala tekanan dari penguasa yang represif.
Yang ketiga, pemimpin yang efektif tidak akan pernah berhenti belajar. Pemimpin yang tidak mau belajar tidak akan mampu menghadapi perkembangan global yang penuh dengan perubahan dan guncangan. Sedangkan yang keempat, pemimpin bangsa harus melayani rakyat dengan mengesampingkan kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompok.
Adapun Jeffrey Immlet lebih banyak menekankan kepada pentingnya seorang pemimpin menjaga fokus dalam menetapkan dan menjalankan strateginya. Berbeda dengan Jack Welch yang membuat gagasan “disiplin dan penghematan” untuk menyelamatkan GE yang menghadapi ancaman ke depan pada tahun 1981, Immelt menetapkan fokusnya pada “investasi dan inovasi”.
Melalui fokus strateginya ini, Immelt berhasil mempertahankan pertumbuhan perusahaan yang diperkirakan mencapai sekitar US$ 163 miliar di tahun 2006. Ini berarti GE telah mengalami pertumbuhan lebih dari 40 persen sejak ia mengambil alih kepemimpinan GE dari Jack Welch. Lebih dari 50 persen angka penjualan tersebut berasal dari luar Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan Immelt, GE meraih puncak dalam peringkat Global Most Admired Companies versi majalah Forbes.
Para pemimpin kita, baik di tingkat lokal mapun nasional saat ini tidak lagi berwibawa dan memiliki pengikut. Pada saat mereka memerintahkan berantas korupsi, yang terjadi malah sebaliknya, korupsi makin merajalela. Ketika mereka mengatakan perbaikan iklim investasi, yang terjadi iklim investasi menjadi semakin memburuk dan seterusnya.
Mengapa terjadi krisis kepemimpinan di negara kita ini? Salah satunya adalah karena para pemimpin bangsa kita lupa untuk mengamalkan ajaran-ajaran kepemimpinan yang memperhatikan kearifan lokal dalam konteks budaya bangsa, seperti yang telah dipraktikkan para founding fathers negara ini.
Belajar dari kedua tokoh pempinpin di atas, bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat. Kuat dalam arti efektif, bukan represif. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang percaya diri, memiliki visi jauh ke depan, mampu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan sendiri, tidak berhenti belajar, tanggap terhadap perkembangan global, memiliki fokus dalam menjalankan tugasnya serta tidak pernah “mengeluh”.

Kita berharap pernyataan Presiden Yudhoyono menunjukkan masih ada ruang  kesadaran dalam diri bangsa ini betapa diperlukan kemauan, komitmen, upaya dan konsistensi lebih kuat dan lebih total untuk melawan korupsi. Presidenlah yang semestinya memimpin kesadaran, kemauan, serta komitmen secara konsisten dalam memberangus korupsi. Sebab esensi perjuangan melawan korupsi ialah pelaksanaan kata-kata yang diucapkan dalam pidato Presiden tersebut. Rasanya kita tidak perlu malu untuk belajar dari dua tokoh pemimpin di atas.