“Kepemimpinan harus kuat”.
Demikian salah satu judul berita headline
news di harian Kompas edisi 15 September 2006. Bolehkah kita setuju dengan
pertanyaan tersebut? Jawabannya, tergantung pada paradigma kita dalam melihat
kepemimpinan yang kuat dalam alam demokrasi yang sedang dibangun Indonesia saat
ini.
Kalau yang dimaksud dengan
kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang otoriter dan represif, sudah
barang tentu kita tidak setuju. Tetapi kalau kepemimpinan yang kuat adalah
kepemimpinan yang efektif, saya yakin kita semua tentu akan setuju.
Judul tulisan ini terkesan klise. Mengada-ada. Seakan-akan meniru
konsep seven habits-nya Stephen
Covey. Tetapi, marilah kita coba renungkan bersama. Apakah konsep yang saya
sampaikan ini masuk akal?
Sense, dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kesadaran dan
kecerdasan. Sense juga berarti
kemampuan, kesadaran dan kepekaan untuk melakukan penilaian (judgement) . Ini juga berarti seorang
pemimpin harus mampu membedakan antara yang penting dan kurang penting. Sense, juga berarti mencerminkan
kesadaran dan kepekaan seorang pemimpin terhadap berbagai hal atau nilai-nilai
yang menjadi panduan hidupnya.
Pemimpin
Galau
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengungkapkan rasa frustasi, jengkel dan geram atas masih dan makin
merajalelanya korupsi di negeri ini. Dalam dialog Forum Pasar Global di
Singapura, Selasa (23/4/2013) yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengungkapkan betapa sulitnya memberangus korupsi di tanah air. Di depan forum internasional
itu, Presiden Yudhoyono berterus terang bahwa ternyata memerangi korupsi tak
semudah yang ia bayangkan.
Semula Presiden Yudhoyono
berpikir penegak hukum bisa memberantas korupsi dalam rentang waktu 10-15
tahun. Namun, pikiran itu ibarat jauh panggang dari api. Ternyata sekadar utopia. Menurut Presiden, Indonesia
butuh 20-25 tahun lagi untuk terbebas dari jeratan korupsi. Sebenarnya, bukan
kali ini saja Presiden Yudhoyono mengaku frustrasi dalam memerangi korupsi.
Pada peringatan Hari Antikorupsi dan Hari HAM di Istana Negara, 10 Desember
2012, Presiden juga melontarkan hal serupa.
Dunia telah sepakat memasukkan korupsi dalam extraordinary crime, kejahatan luar biasa, sehingga perlu kemauan dan usaha luar biasa untuk menghadapinya. Korupsi termasuk kejahatan paling kejam terhadap kemanusiaan sehingga perlu tindakan paling garang untuk melawannya.
Dunia telah sepakat memasukkan korupsi dalam extraordinary crime, kejahatan luar biasa, sehingga perlu kemauan dan usaha luar biasa untuk menghadapinya. Korupsi termasuk kejahatan paling kejam terhadap kemanusiaan sehingga perlu tindakan paling garang untuk melawannya.
Karena itu, kita berharap kata
frustasi dalam pernyataan Presiden bukan bermakna harfiah, bahwa bangsa ini
sudah lelah dan kendor bahkan berhenti memberantas korupsi. Bila kata frustasi
sungguh-sungguh bermakna literal, ia akan kontraproduktif dan berpengaruh buruk
bagi mental para penegak hukum.
Belajar
dari Pemimpin Dunia
Secara kebetulan, pada akhir
September 2006 ada dua tamu yang memiliki nama besar dengan corak kepemimpinan
yang kuat mengunjungi Indonesia. Tamu yang pertama adalah Corazon Aquino,
mantan Presiden Filipina. Ia dikenal karena perjuangannya menggulingkan diktator
Ferdinand Marcos melalui sebuah gerakan berbasis massa yang disebut People Power.
Tamu yang kedua adalah Jeffrey R.
Immelt, seorang CEO General Electric
(GE). Immelt menggantikan Jack Welch yang bercokol selama lebih dari 20 tahun
sebagai CEO GE yang sangat legendaris. Saat itu banyak orang yang menyangsikan
kemampuan Immelt untuk lepas dari bayang-bayang kebesaran Jack Welch. Ia
diperkirakan tidak akan mampu membawa GE mempertahankan posisinya sebagai
perusahaan yang paling disegani di dunia.
Dari dua tamu yang memiliki nama
besar di bidang yang berbeda itu, kita dapat belajar tentang kepemimpinan yang
efektif. Corazon Aquino, ketika menyampaikan Kuliah Umum di Universitas Pelita
Harapan menyebutkan ada empat hal pokok untuk menjadi seorang pemimpin yang
efektif.
Yang pertama adalah kepercayaan
diri. Bagaimana seorang pemimpin akan didukung oleh banyak pengikut kalau ia
tidak percaya diri dan gampang galau dan frustasi setiap menghadapi masalah?
Yang kedua, ia harus memiliki pandangan jangka panjang. Ia harus memiliki visi
ke depan untuk membawa bangsanya ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih
demokratis, bebas dari segala tekanan dari penguasa yang represif.
Yang ketiga, pemimpin yang
efektif tidak akan pernah berhenti belajar. Pemimpin yang tidak mau belajar
tidak akan mampu menghadapi perkembangan global yang penuh dengan perubahan dan
guncangan. Sedangkan yang keempat, pemimpin bangsa harus melayani rakyat dengan
mengesampingkan kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompok.
Adapun Jeffrey Immlet lebih
banyak menekankan kepada pentingnya seorang pemimpin menjaga fokus dalam menetapkan
dan menjalankan strateginya. Berbeda dengan Jack Welch yang membuat gagasan
“disiplin dan penghematan” untuk menyelamatkan GE yang menghadapi ancaman ke
depan pada tahun 1981, Immelt menetapkan fokusnya pada “investasi dan inovasi”.
Melalui fokus strateginya ini,
Immelt berhasil mempertahankan pertumbuhan perusahaan yang diperkirakan
mencapai sekitar US$ 163 miliar di tahun 2006. Ini berarti GE telah mengalami
pertumbuhan lebih dari 40 persen sejak ia mengambil alih kepemimpinan GE dari
Jack Welch. Lebih dari 50 persen angka penjualan tersebut berasal dari luar
Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan Immelt, GE meraih puncak dalam peringkat
Global Most Admired Companies versi
majalah Forbes.
Para pemimpin kita, baik di
tingkat lokal mapun nasional saat ini tidak lagi berwibawa dan memiliki
pengikut. Pada saat mereka memerintahkan berantas korupsi, yang terjadi malah
sebaliknya, korupsi makin merajalela. Ketika mereka mengatakan perbaikan iklim
investasi, yang terjadi iklim investasi menjadi semakin memburuk dan
seterusnya.
Mengapa terjadi krisis
kepemimpinan di negara kita ini? Salah satunya adalah karena para pemimpin
bangsa kita lupa untuk mengamalkan ajaran-ajaran kepemimpinan yang
memperhatikan kearifan lokal dalam konteks budaya bangsa, seperti yang telah
dipraktikkan para founding fathers
negara ini.
Belajar dari kedua tokoh
pempinpin di atas, bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat. Kuat dalam
arti efektif, bukan represif. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang
percaya diri, memiliki visi jauh ke depan, mampu mengutamakan kepentingan umum
di atas kepentingan sendiri, tidak berhenti belajar, tanggap terhadap
perkembangan global, memiliki fokus dalam menjalankan tugasnya serta tidak
pernah “mengeluh”.
Kita berharap pernyataan Presiden
Yudhoyono menunjukkan masih ada ruang kesadaran dalam diri bangsa ini
betapa diperlukan kemauan, komitmen, upaya dan konsistensi lebih kuat dan lebih
total untuk melawan korupsi. Presidenlah yang semestinya memimpin kesadaran,
kemauan, serta komitmen secara konsisten dalam memberangus korupsi. Sebab
esensi perjuangan melawan korupsi ialah pelaksanaan kata-kata yang diucapkan
dalam pidato Presiden tersebut. Rasanya kita tidak perlu malu untuk belajar dari
dua tokoh pemimpin di atas.