BANGSA Indonesia telah
hidup dalam masa transisi demokrasi selama 10 tahun. Perlahan namun pasti,
angin reformasi malah berbalik arah. Bukan perbaikan yang kita temukan, tapi
kebobrokan yang semakin melilit di hampir segala sendi kehidupan. Hasrat untuk
melihat Indonesia baru menjadi mimpi di siang bolong. Bangsa Indonesia masih
saja bergulat dengan aneka problem yang makin kompleks dan krusial.
Kesenjangan ekonomi,
sosial, politik, budaya, hukum, dan keagamaan semakin tajam. Keadilan terasa
semakin jauh. Kondisi seperti ini sebenarnya telah diramalkan oleh Raja Kediri,
Prabu Joyoboyo (1135-1157). Joyoboyo dikenal sebagai pujangga Jawa yang
memiliki pandangan visioner dan mampu melampaui zaman. Konon, Presiden Soekarno
juga menyerap visi Joyoboyo ketika ia menghadapi penjajahan Jepang, yang
menurut Joyoboyo hanya seumur jagung.
Inkonsistensi Melawan Korupsi
Korupsi yang dituding
oleh banyak pihak sebagai pemicu kronis bangsa sampai kini belum juga ditemukan
obat penangkalnya. Dia bagaikan lingkaran setan. Alih-alih berkurang, dari
waktu ke waktu korupsi malah semakin parah. Korupsi juga sumber dari segala bencana
dan kejahatan, the root of all evils.
Seorang koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dibandingkan teroris. Uang
triliunan rupiah yang dijarah seorang koruptor, misalnya adalah biaya hidup
mati puluhan juta penduduk miskin Indonesia. Dalam konteks itulah, koruptor
adalah the real terrorist.
Adalah mimpi di siang
bolong untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan,
memperbaiki mutu pendidikan dan lain-lain, apabila korupsi masih dibiarkan
menari-nari di depan mata. Upaya untuk memerangi sekaligus memberantas korupsi
tidak akan berjalan efektif apabila tidak ada itikad baik (political will) dari aparat penegak hukum untuk menjerat para
koruptor dengan jeratan hukum yang maksimal.
Lihat saja sekarang,
pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan wajah ganda. Di satu sisi, ada
aparat yang menjerat tetapi di sisi lain ada juga yang melepaskan. Minggu lalu,
masyarakat dikejutkan dengan dibebaskannya walikota Medan Rahudman Harahap atas
dakwaan korupsi. Bahkan, belum lama ini majelis hakim agung juga membebaskan
terpidana korupsi mantan direktur PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, Sudjiono
Timan.
Korupsi tidak saja
akan menghancurkan struktur kenegaraan secara perlahan. Tetapi juga menghancurkan
segenap sendi-sendi penting yang terdapat dalam negara. Korupsi muncul dari
struktur birokrasi dan akan berimbas dengan menggerogoti struktur birokrasi
tempat korupsi berlangsung.
Dalam hal ini
pemerintah, lembaga legislatif, kehakiman, pers, dan masyarakat luas harus
menjadi pilar utama dalam upaya mentransformasi budaya baru. Selain fokus pada
budaya baru, sebenarnya korupsi bukanlah tidak bisa dilawan. Di beberapa
tempat, koruptor menjadi pesakitan oleh inisiatif advokasi masyarakat,
karenanya tidak perlu berkecil hati dalam berjuang melawan korupsi. Membangun
sugesti positif menjadi hal yang sangat penting. Bagaimana caranya?
Pertama, membuat strategi
yang beragam, tidak tunggal. Artinya, membongkar kasus korupsi harus dilakukan
dengan langkah yang sistematis dan tidak pernah mengenal kata menyerah. Kalau
satu upaya gagal, secara kreatif harus dilakukan cara lain. Satu prinsip,
karena pelaku korupsi tidak tunggal, membongkar korupsi juga harus dilakukan secara
berjamaah.
Kedua, membangun sinergi
antarelemen dan memainkan peran yang solid dalam memberantas korupsi. Yang
menarik, di beberapa tempat ditemukan, sinergitas tersebut tidak hanya
dilakukan antarsesama elemen masyarakat sipil tapi juga melibatkan unsur para
penegak hukum reformis. Keberadaan aparat penegak hukum yang reformis ternyata
banyak membantu memaksimalkan kerja-kerja advokasi masyarakat agar tercapai
seperti yang diidealkan.
Ketiga, mengintensifkan
pemantauan kasus korupsi yang diadvokasi saat memasuki tahapan peradilan.
Lembaga peradilan merupakan instrumen hukum, yang di satu sisi krusial
posisinya dalam penegakan hukum, tapi pada sisi yang lain rentan dengan praktik
judicial corruption (mafia peradilan). Sudah banyak penelitian yang mengungkap
fakta tentang maraknya korupsi di peradilan dan semuanya mengarah pada
kesimpulan bahwa korupsi di peradilan terjadi pada tiga titik penting, yaitu
penanganan perkara, aspek-aspek kelembagaan peradilan, dan intervensi kekuatan
ekstra yudisial terhadap kasus-kasus berdimensi politis yang sedang diproses di
peradilan.
Keempat, keberhasilan pemberantasan
korupsi di masyarakat juga dipengaruhi oleh sikap persisten dan militan. Sikap
persisten dan militan ini terbentuk dari penghayatan atas perasaan menjadi
“masyarakat korban korupsi” terutama pada masyarakat yang menerima dampak
kerugian langsung dari sebuah perilaku korup