Oleh : Joko Tri
Nugraha, S.Sos, M.Si[1]
Di
tengah hiruk pikuknya peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini seperti bencana,
praktik korupsi serta politik praktis, mestinya kita tidak boleh melupakan satu
hal yang tidak kalah penting yaitu bonus demografi.
Bonus
demografi adalah kondisi di mana struktur umur penduduk dengan tingkat
ketergantungan berada di titik terendah, atau setiap 100 orang usia produktif
(15-64 tahun) menanggung 40-50 orang usia tidak produktif, yang diprediksikan mencapai puncaknya pada
tahun 2020-2030, meski demikian ada yang menghitung hanya sampai tahun 2025
saja.
Pada
puncak bonus demografi, Indonesia diperkirakan akan berpenduduk 300 juta jiwa
dan 200 juta di antaranya berusia produktif antara 15-64 tahun. Tentunya hanya
negara yang mampu membangun sumber daya manusia saja yang akan melompat menjadi
negara maju, seperti yang terjadi di negara Eropa Barat dan juga negara Jepang.
Agar
bonus demografi menjadi berkah bagi kita, ada sejumlah prasyarat yang harus
dipenuhi, antara lain kualitas penduduk lewat pendidikan dan kesehatan serta
ketersediaan lapangan kerja. Tulisan ini lebih difokuskan pada kebijakan
pendidikan. Ketika kebijakan pendidikan dan praksis pendidikan tidak berorientasi
mengantisipasi bonus demografi, maka peluang yang hanya sekali terjadi untuk
suatu negara akan lewat begitu saja.
Akar Persoalan
Peran
pendidikan sangat strategis dalam membentuk bangsa. Sejarah kemerdekaan telah
membuktikan, kelompok intelektual berpendidikan tinggi mampu menumbuhkan dan
menggerakkan kesadaran berbangsa. Pembangunan kebudayaan ataupun ekonomi bangsa
juga diwujudkan melalui ranah pendidikan. Secara singkat pendidikan merupakan
episentrum perkembangan peradaban suatu bangsa.
Namun,
pembangunan pendidikan di Indonesia ternyata mengalami persoalan multidimensi,
baik bersifat fundamental, struktural maupun operasional. Dari aspek
fundamental, selama ini kebijakan pemerintah melihat capaian pendidikan
cenderung dari aspek kuantitas antara lain angka partisipasi pendidikan kasar
dan murni, rata-rata lama sekolah, ujian nasional dan hasil tes internasional.
Berdasarkan ukuran-ukuran itu, capaian pendidikan Indonesia masih berada di
bawah negara lain.
Untuk
mengejar proporsi statistik tersebut, langkah pemerintah justru kemudian
terjebak pada sindrom keluar dari ketertinggalan negara lain. Kebijakan
diarahkan untuk meningkatkan daya saing anak Indonesia dengan berbagai standar
internasional. Akibatnya, pendidikan saat ini justru mempersulit peserta didik
melihat realitas masalah masyarakat. Kebijakan pendidikan seperti ini justru
melahirkan generasi muda yang loyo serta tidak kreatif memanfaatkan potensi
kekayaan Indonesia dan kearifan lokal.
Kebijakan
selanjutnya yang dinilai tidak berkelanjutan tampak dari dampak perubahan
kurikulum pendidikan. Kesan ganti kurikulum tidak diimbangi dengan persiapan
yang memadai tidak bisa dielakkan. Di era reformasi telah terjadi tiga kali
perubahan kurikulum, meliputi Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004,
Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan 2006 dan Kurikulum 2013 tematik dan
integratif.
Selain
itu, sebagian guru di sekolah disinyalir masih bertipe guru tradisional yang
diposisikan sebagai pembimbing, pengajar dan pelatih yang menyiapkan peserta
didik pada masa depan. Hanya sebagian kecil saja guru yang bertipe profesional,
yakni guru sebagai fasilitator yang mengondisikan suasana dan proses
pembelajaran berpusat pada siswa sebagaimana tuntutan kurikulum.
Pendidikan Jadi
Kunci
Agar
berkesempatan memetik puncak bonus demografi pada 2028-2031, pemerintah harus
sedemikian rupa menyiapkan manusia Indonesia yang produktif sehingga kompeten
dan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dunia kerja. Pertarungan di antara
tenaga kerja akan mengetat seiring terbukanya pasar regional dan internasional.
Dalam
jangka pendek, pemerintah baru Jokowi-Jk perlu didorong agar mampu mewujudkan
sinergi antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan kementerian terkait.
Semua sektor mesti bersinergi menyatukan arah dan tujuan sehingga dunia
pendidikan pun memiliki arah dan tujuan yang sejalan dalam menyiapkan sumber daya manusia sesuai dengan
kebutuhan dan permintaan.
Selain
menyiapkan lembaga pendidikan formal, penting pula bagi pemerintah baru untuk
menguatkan peran pusat-pusat pelatihan kerja. Melalui pelatihan-pelatihan
kompetensi kerja sesuai kebutuhan lapangan kerja, akan menjadikan tenaga kerja
semakin berdaya saing. Negara semestinya mampu mengidentifikasi lapangan kerja
yang akan muncul di masa bonus demografi. Dengan demikian pemerintah bisa
memfasilitasi dan mendorong tersedianya lapangan kerja. Pemerintah lima tahun
ke depan menjadi penentu apakah Indonesia dapat meraih bonus demografi.
Seandainya pemerintah gagal, kita akan tetap tinggal sebagai negara
berpenghasilan menengah yang berimbas pada kesenjangan dan kemakmuran
masyarakat.