Minggu, 27 Maret 2016
Rabu, 23 Maret 2016
Senin, 21 Maret 2016
Senin, 31 Agustus 2015
Mengantisipasi Bonus Demografi Melalui Reformasi Pendidikan
Oleh : Joko Tri
Nugraha, S.Sos, M.Si[1]
Di
tengah hiruk pikuknya peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini seperti bencana,
praktik korupsi serta politik praktis, mestinya kita tidak boleh melupakan satu
hal yang tidak kalah penting yaitu bonus demografi.
Bonus
demografi adalah kondisi di mana struktur umur penduduk dengan tingkat
ketergantungan berada di titik terendah, atau setiap 100 orang usia produktif
(15-64 tahun) menanggung 40-50 orang usia tidak produktif, yang diprediksikan mencapai puncaknya pada
tahun 2020-2030, meski demikian ada yang menghitung hanya sampai tahun 2025
saja.
Pada
puncak bonus demografi, Indonesia diperkirakan akan berpenduduk 300 juta jiwa
dan 200 juta di antaranya berusia produktif antara 15-64 tahun. Tentunya hanya
negara yang mampu membangun sumber daya manusia saja yang akan melompat menjadi
negara maju, seperti yang terjadi di negara Eropa Barat dan juga negara Jepang.
Agar
bonus demografi menjadi berkah bagi kita, ada sejumlah prasyarat yang harus
dipenuhi, antara lain kualitas penduduk lewat pendidikan dan kesehatan serta
ketersediaan lapangan kerja. Tulisan ini lebih difokuskan pada kebijakan
pendidikan. Ketika kebijakan pendidikan dan praksis pendidikan tidak berorientasi
mengantisipasi bonus demografi, maka peluang yang hanya sekali terjadi untuk
suatu negara akan lewat begitu saja.
Akar Persoalan
Peran
pendidikan sangat strategis dalam membentuk bangsa. Sejarah kemerdekaan telah
membuktikan, kelompok intelektual berpendidikan tinggi mampu menumbuhkan dan
menggerakkan kesadaran berbangsa. Pembangunan kebudayaan ataupun ekonomi bangsa
juga diwujudkan melalui ranah pendidikan. Secara singkat pendidikan merupakan
episentrum perkembangan peradaban suatu bangsa.
Namun,
pembangunan pendidikan di Indonesia ternyata mengalami persoalan multidimensi,
baik bersifat fundamental, struktural maupun operasional. Dari aspek
fundamental, selama ini kebijakan pemerintah melihat capaian pendidikan
cenderung dari aspek kuantitas antara lain angka partisipasi pendidikan kasar
dan murni, rata-rata lama sekolah, ujian nasional dan hasil tes internasional.
Berdasarkan ukuran-ukuran itu, capaian pendidikan Indonesia masih berada di
bawah negara lain.
Untuk
mengejar proporsi statistik tersebut, langkah pemerintah justru kemudian
terjebak pada sindrom keluar dari ketertinggalan negara lain. Kebijakan
diarahkan untuk meningkatkan daya saing anak Indonesia dengan berbagai standar
internasional. Akibatnya, pendidikan saat ini justru mempersulit peserta didik
melihat realitas masalah masyarakat. Kebijakan pendidikan seperti ini justru
melahirkan generasi muda yang loyo serta tidak kreatif memanfaatkan potensi
kekayaan Indonesia dan kearifan lokal.
Kebijakan
selanjutnya yang dinilai tidak berkelanjutan tampak dari dampak perubahan
kurikulum pendidikan. Kesan ganti kurikulum tidak diimbangi dengan persiapan
yang memadai tidak bisa dielakkan. Di era reformasi telah terjadi tiga kali
perubahan kurikulum, meliputi Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004,
Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan 2006 dan Kurikulum 2013 tematik dan
integratif.
Selain
itu, sebagian guru di sekolah disinyalir masih bertipe guru tradisional yang
diposisikan sebagai pembimbing, pengajar dan pelatih yang menyiapkan peserta
didik pada masa depan. Hanya sebagian kecil saja guru yang bertipe profesional,
yakni guru sebagai fasilitator yang mengondisikan suasana dan proses
pembelajaran berpusat pada siswa sebagaimana tuntutan kurikulum.
Pendidikan Jadi
Kunci
Agar
berkesempatan memetik puncak bonus demografi pada 2028-2031, pemerintah harus
sedemikian rupa menyiapkan manusia Indonesia yang produktif sehingga kompeten
dan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dunia kerja. Pertarungan di antara
tenaga kerja akan mengetat seiring terbukanya pasar regional dan internasional.
Dalam
jangka pendek, pemerintah baru Jokowi-Jk perlu didorong agar mampu mewujudkan
sinergi antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan kementerian terkait.
Semua sektor mesti bersinergi menyatukan arah dan tujuan sehingga dunia
pendidikan pun memiliki arah dan tujuan yang sejalan dalam menyiapkan sumber daya manusia sesuai dengan
kebutuhan dan permintaan.
Selain
menyiapkan lembaga pendidikan formal, penting pula bagi pemerintah baru untuk
menguatkan peran pusat-pusat pelatihan kerja. Melalui pelatihan-pelatihan
kompetensi kerja sesuai kebutuhan lapangan kerja, akan menjadikan tenaga kerja
semakin berdaya saing. Negara semestinya mampu mengidentifikasi lapangan kerja
yang akan muncul di masa bonus demografi. Dengan demikian pemerintah bisa
memfasilitasi dan mendorong tersedianya lapangan kerja. Pemerintah lima tahun
ke depan menjadi penentu apakah Indonesia dapat meraih bonus demografi.
Seandainya pemerintah gagal, kita akan tetap tinggal sebagai negara
berpenghasilan menengah yang berimbas pada kesenjangan dan kemakmuran
masyarakat.
Kamis, 21 November 2013
Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan
BANGSA Indonesia telah
hidup dalam masa transisi demokrasi selama 10 tahun. Perlahan namun pasti,
angin reformasi malah berbalik arah. Bukan perbaikan yang kita temukan, tapi
kebobrokan yang semakin melilit di hampir segala sendi kehidupan. Hasrat untuk
melihat Indonesia baru menjadi mimpi di siang bolong. Bangsa Indonesia masih
saja bergulat dengan aneka problem yang makin kompleks dan krusial.
Kesenjangan ekonomi,
sosial, politik, budaya, hukum, dan keagamaan semakin tajam. Keadilan terasa
semakin jauh. Kondisi seperti ini sebenarnya telah diramalkan oleh Raja Kediri,
Prabu Joyoboyo (1135-1157). Joyoboyo dikenal sebagai pujangga Jawa yang
memiliki pandangan visioner dan mampu melampaui zaman. Konon, Presiden Soekarno
juga menyerap visi Joyoboyo ketika ia menghadapi penjajahan Jepang, yang
menurut Joyoboyo hanya seumur jagung.
Inkonsistensi Melawan Korupsi
Korupsi yang dituding
oleh banyak pihak sebagai pemicu kronis bangsa sampai kini belum juga ditemukan
obat penangkalnya. Dia bagaikan lingkaran setan. Alih-alih berkurang, dari
waktu ke waktu korupsi malah semakin parah. Korupsi juga sumber dari segala bencana
dan kejahatan, the root of all evils.
Seorang koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dibandingkan teroris. Uang
triliunan rupiah yang dijarah seorang koruptor, misalnya adalah biaya hidup
mati puluhan juta penduduk miskin Indonesia. Dalam konteks itulah, koruptor
adalah the real terrorist.
Adalah mimpi di siang
bolong untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan,
memperbaiki mutu pendidikan dan lain-lain, apabila korupsi masih dibiarkan
menari-nari di depan mata. Upaya untuk memerangi sekaligus memberantas korupsi
tidak akan berjalan efektif apabila tidak ada itikad baik (political will) dari aparat penegak hukum untuk menjerat para
koruptor dengan jeratan hukum yang maksimal.
Lihat saja sekarang,
pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan wajah ganda. Di satu sisi, ada
aparat yang menjerat tetapi di sisi lain ada juga yang melepaskan. Minggu lalu,
masyarakat dikejutkan dengan dibebaskannya walikota Medan Rahudman Harahap atas
dakwaan korupsi. Bahkan, belum lama ini majelis hakim agung juga membebaskan
terpidana korupsi mantan direktur PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, Sudjiono
Timan.
Korupsi tidak saja
akan menghancurkan struktur kenegaraan secara perlahan. Tetapi juga menghancurkan
segenap sendi-sendi penting yang terdapat dalam negara. Korupsi muncul dari
struktur birokrasi dan akan berimbas dengan menggerogoti struktur birokrasi
tempat korupsi berlangsung.
Dalam hal ini
pemerintah, lembaga legislatif, kehakiman, pers, dan masyarakat luas harus
menjadi pilar utama dalam upaya mentransformasi budaya baru. Selain fokus pada
budaya baru, sebenarnya korupsi bukanlah tidak bisa dilawan. Di beberapa
tempat, koruptor menjadi pesakitan oleh inisiatif advokasi masyarakat,
karenanya tidak perlu berkecil hati dalam berjuang melawan korupsi. Membangun
sugesti positif menjadi hal yang sangat penting. Bagaimana caranya?
Pertama, membuat strategi
yang beragam, tidak tunggal. Artinya, membongkar kasus korupsi harus dilakukan
dengan langkah yang sistematis dan tidak pernah mengenal kata menyerah. Kalau
satu upaya gagal, secara kreatif harus dilakukan cara lain. Satu prinsip,
karena pelaku korupsi tidak tunggal, membongkar korupsi juga harus dilakukan secara
berjamaah.
Kedua, membangun sinergi
antarelemen dan memainkan peran yang solid dalam memberantas korupsi. Yang
menarik, di beberapa tempat ditemukan, sinergitas tersebut tidak hanya
dilakukan antarsesama elemen masyarakat sipil tapi juga melibatkan unsur para
penegak hukum reformis. Keberadaan aparat penegak hukum yang reformis ternyata
banyak membantu memaksimalkan kerja-kerja advokasi masyarakat agar tercapai
seperti yang diidealkan.
Ketiga, mengintensifkan
pemantauan kasus korupsi yang diadvokasi saat memasuki tahapan peradilan.
Lembaga peradilan merupakan instrumen hukum, yang di satu sisi krusial
posisinya dalam penegakan hukum, tapi pada sisi yang lain rentan dengan praktik
judicial corruption (mafia peradilan). Sudah banyak penelitian yang mengungkap
fakta tentang maraknya korupsi di peradilan dan semuanya mengarah pada
kesimpulan bahwa korupsi di peradilan terjadi pada tiga titik penting, yaitu
penanganan perkara, aspek-aspek kelembagaan peradilan, dan intervensi kekuatan
ekstra yudisial terhadap kasus-kasus berdimensi politis yang sedang diproses di
peradilan.
Keempat, keberhasilan pemberantasan
korupsi di masyarakat juga dipengaruhi oleh sikap persisten dan militan. Sikap
persisten dan militan ini terbentuk dari penghayatan atas perasaan menjadi
“masyarakat korban korupsi” terutama pada masyarakat yang menerima dampak
kerugian langsung dari sebuah perilaku korup
Selasa, 02 Juli 2013
The Sense of Effective Leader
“Kepemimpinan harus kuat”.
Demikian salah satu judul berita headline
news di harian Kompas edisi 15 September 2006. Bolehkah kita setuju dengan
pertanyaan tersebut? Jawabannya, tergantung pada paradigma kita dalam melihat
kepemimpinan yang kuat dalam alam demokrasi yang sedang dibangun Indonesia saat
ini.
Kalau yang dimaksud dengan
kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang otoriter dan represif, sudah
barang tentu kita tidak setuju. Tetapi kalau kepemimpinan yang kuat adalah
kepemimpinan yang efektif, saya yakin kita semua tentu akan setuju.
Judul tulisan ini terkesan klise. Mengada-ada. Seakan-akan meniru
konsep seven habits-nya Stephen
Covey. Tetapi, marilah kita coba renungkan bersama. Apakah konsep yang saya
sampaikan ini masuk akal?
Sense, dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kesadaran dan
kecerdasan. Sense juga berarti
kemampuan, kesadaran dan kepekaan untuk melakukan penilaian (judgement) . Ini juga berarti seorang
pemimpin harus mampu membedakan antara yang penting dan kurang penting. Sense, juga berarti mencerminkan
kesadaran dan kepekaan seorang pemimpin terhadap berbagai hal atau nilai-nilai
yang menjadi panduan hidupnya.
Pemimpin
Galau
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengungkapkan rasa frustasi, jengkel dan geram atas masih dan makin
merajalelanya korupsi di negeri ini. Dalam dialog Forum Pasar Global di
Singapura, Selasa (23/4/2013) yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengungkapkan betapa sulitnya memberangus korupsi di tanah air. Di depan forum internasional
itu, Presiden Yudhoyono berterus terang bahwa ternyata memerangi korupsi tak
semudah yang ia bayangkan.
Semula Presiden Yudhoyono
berpikir penegak hukum bisa memberantas korupsi dalam rentang waktu 10-15
tahun. Namun, pikiran itu ibarat jauh panggang dari api. Ternyata sekadar utopia. Menurut Presiden, Indonesia
butuh 20-25 tahun lagi untuk terbebas dari jeratan korupsi. Sebenarnya, bukan
kali ini saja Presiden Yudhoyono mengaku frustrasi dalam memerangi korupsi.
Pada peringatan Hari Antikorupsi dan Hari HAM di Istana Negara, 10 Desember
2012, Presiden juga melontarkan hal serupa.
Dunia telah sepakat memasukkan korupsi dalam extraordinary crime, kejahatan luar biasa, sehingga perlu kemauan dan usaha luar biasa untuk menghadapinya. Korupsi termasuk kejahatan paling kejam terhadap kemanusiaan sehingga perlu tindakan paling garang untuk melawannya.
Dunia telah sepakat memasukkan korupsi dalam extraordinary crime, kejahatan luar biasa, sehingga perlu kemauan dan usaha luar biasa untuk menghadapinya. Korupsi termasuk kejahatan paling kejam terhadap kemanusiaan sehingga perlu tindakan paling garang untuk melawannya.
Karena itu, kita berharap kata
frustasi dalam pernyataan Presiden bukan bermakna harfiah, bahwa bangsa ini
sudah lelah dan kendor bahkan berhenti memberantas korupsi. Bila kata frustasi
sungguh-sungguh bermakna literal, ia akan kontraproduktif dan berpengaruh buruk
bagi mental para penegak hukum.
Belajar
dari Pemimpin Dunia
Secara kebetulan, pada akhir
September 2006 ada dua tamu yang memiliki nama besar dengan corak kepemimpinan
yang kuat mengunjungi Indonesia. Tamu yang pertama adalah Corazon Aquino,
mantan Presiden Filipina. Ia dikenal karena perjuangannya menggulingkan diktator
Ferdinand Marcos melalui sebuah gerakan berbasis massa yang disebut People Power.
Tamu yang kedua adalah Jeffrey R.
Immelt, seorang CEO General Electric
(GE). Immelt menggantikan Jack Welch yang bercokol selama lebih dari 20 tahun
sebagai CEO GE yang sangat legendaris. Saat itu banyak orang yang menyangsikan
kemampuan Immelt untuk lepas dari bayang-bayang kebesaran Jack Welch. Ia
diperkirakan tidak akan mampu membawa GE mempertahankan posisinya sebagai
perusahaan yang paling disegani di dunia.
Dari dua tamu yang memiliki nama
besar di bidang yang berbeda itu, kita dapat belajar tentang kepemimpinan yang
efektif. Corazon Aquino, ketika menyampaikan Kuliah Umum di Universitas Pelita
Harapan menyebutkan ada empat hal pokok untuk menjadi seorang pemimpin yang
efektif.
Yang pertama adalah kepercayaan
diri. Bagaimana seorang pemimpin akan didukung oleh banyak pengikut kalau ia
tidak percaya diri dan gampang galau dan frustasi setiap menghadapi masalah?
Yang kedua, ia harus memiliki pandangan jangka panjang. Ia harus memiliki visi
ke depan untuk membawa bangsanya ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih
demokratis, bebas dari segala tekanan dari penguasa yang represif.
Yang ketiga, pemimpin yang
efektif tidak akan pernah berhenti belajar. Pemimpin yang tidak mau belajar
tidak akan mampu menghadapi perkembangan global yang penuh dengan perubahan dan
guncangan. Sedangkan yang keempat, pemimpin bangsa harus melayani rakyat dengan
mengesampingkan kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompok.
Adapun Jeffrey Immlet lebih
banyak menekankan kepada pentingnya seorang pemimpin menjaga fokus dalam menetapkan
dan menjalankan strateginya. Berbeda dengan Jack Welch yang membuat gagasan
“disiplin dan penghematan” untuk menyelamatkan GE yang menghadapi ancaman ke
depan pada tahun 1981, Immelt menetapkan fokusnya pada “investasi dan inovasi”.
Melalui fokus strateginya ini,
Immelt berhasil mempertahankan pertumbuhan perusahaan yang diperkirakan
mencapai sekitar US$ 163 miliar di tahun 2006. Ini berarti GE telah mengalami
pertumbuhan lebih dari 40 persen sejak ia mengambil alih kepemimpinan GE dari
Jack Welch. Lebih dari 50 persen angka penjualan tersebut berasal dari luar
Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan Immelt, GE meraih puncak dalam peringkat
Global Most Admired Companies versi
majalah Forbes.
Para pemimpin kita, baik di
tingkat lokal mapun nasional saat ini tidak lagi berwibawa dan memiliki
pengikut. Pada saat mereka memerintahkan berantas korupsi, yang terjadi malah
sebaliknya, korupsi makin merajalela. Ketika mereka mengatakan perbaikan iklim
investasi, yang terjadi iklim investasi menjadi semakin memburuk dan
seterusnya.
Mengapa terjadi krisis
kepemimpinan di negara kita ini? Salah satunya adalah karena para pemimpin
bangsa kita lupa untuk mengamalkan ajaran-ajaran kepemimpinan yang
memperhatikan kearifan lokal dalam konteks budaya bangsa, seperti yang telah
dipraktikkan para founding fathers
negara ini.
Belajar dari kedua tokoh
pempinpin di atas, bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat. Kuat dalam
arti efektif, bukan represif. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang
percaya diri, memiliki visi jauh ke depan, mampu mengutamakan kepentingan umum
di atas kepentingan sendiri, tidak berhenti belajar, tanggap terhadap
perkembangan global, memiliki fokus dalam menjalankan tugasnya serta tidak
pernah “mengeluh”.
Kita berharap pernyataan Presiden
Yudhoyono menunjukkan masih ada ruang kesadaran dalam diri bangsa ini
betapa diperlukan kemauan, komitmen, upaya dan konsistensi lebih kuat dan lebih
total untuk melawan korupsi. Presidenlah yang semestinya memimpin kesadaran,
kemauan, serta komitmen secara konsisten dalam memberangus korupsi. Sebab
esensi perjuangan melawan korupsi ialah pelaksanaan kata-kata yang diucapkan
dalam pidato Presiden tersebut. Rasanya kita tidak perlu malu untuk belajar dari
dua tokoh pemimpin di atas.
Langganan:
Postingan (Atom)