Jumat, 24 Juli 2009

Menanti Kebijakan Pendidikan Tinggi Yang Pro Rakyat

Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat menyebutkan secara jelas tujuan nasional negara Indonesia antara lain:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejateraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

Milton Friedman dalam tesisnya (Media Indonesia, 5 Desember 2005) mengatakan "Negara yang gagal adalah negara yang tidak mampu memenuhi hak-hak warga negaranya". Mengacu pendapat Friedman ini, muncul pertanyaan menarik yang perlu kita diskusikan mengenai peran negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya melalui pendidikan tinggi.
Pertanyaan yang menyeruak adalah mungkinkah kuliah gratis terjadi di Indonesia? Pasalnya biaya kuliah makin hari semakin mencekik dan nyaris tak terbeli kalangan bawah. Apalagi sejak disahkannya UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang diberlakukan pertengahan Januari yang lalu, menyebabkan kuliah gratis ibarat menonton film James Bond 007 berjudul Mission Imposible. Sesuatu yang tak mungkin terjadi, bahkan menuju kemustahilan!

Anggapan kemustahilan ini bisa sangat dipahami, mengingat regulasi yang belakangan diimplementasikan pemerintah menjadi pemicu semua perguruan tinggi (PT) untuk menggalang secara liar pungutan-pungutan masuk kuliah, mengingat pemerintah terus mengurangi subsidi dan bantuan kepada seluruh PT di tanah air. Hanya sekedar contoh, PTN yang murni menjadi badan hukum hanya menerima 30% subsidi pemerintah. Mau tak mau sisa biaya operasional kampus sebesar 70% harus dicari PTN tersebut, dan akhirnya dibebankan kepada mahasiswa.
Mengakses pendidikan memang hak asasi manusia, termasuk basic needs yang harus diterima oleh setiap warga negara. Konstitusi yang dibuat oleh para pendiri negara pun telah jelas-jelas mengatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran dan pemerintah bertugas untuk membangun sistem pendidikan nasional yang mampu menampung rasa keadilan pendidikan bagi semua waega negaranya.

Sampai disini memang tidaklah mudah untuk merumuskan sebuah kebijakan yang ideal tentang pendidikan tinggi di Indonesia. Elitisme pendidikan terkadang menjadi momok tersendiri ketika berbicara menganai sistem pendidikan tinggi. Kebijakan untuk memberikan subsidi pendidikan bagi rakyat miskin adalah hal yang harus disepakati dari awal. Dengan kesepakatan ini, kemudian dicarikan alternatif kebijakan yang pro kepada orang-orang miskin.
Mendiknas Bambang Sudibyo sangat optimis kalau kuliah gratis bukanlah mission imposible. Hal ini menjadi mungkin apabila manajemen PT benar-benar cermat, cerdas dan lincah dalam menggalang dana non masyarakat (non mahasiswa) dan menggantinya melalui kerja sama dengan dunia usaha, pihak asing dan dunia industri.

Harus diakui, sampai detik ini kerja sama antara PT dengan dunia usaha, dunia industri dan donatur belum dikelola secara profesional, transparan dan akuntabel. Padahal, sejumlah PT di Eropa mampu mendesain kerja sama dan kolaborasi dengan non masyarakat sebagai pengganti subsidi pemerintah, sejaligus membangun independensi dan otonomi kampus.
Keberhasilan tata kelola pendanaan dari dunia usaha di Eropa tidak hanya mampu menjadi bumper pendanaan kampus, tetapi juga sebagai bentuk simbiosis mutualisme antara PT dan dunia usaha. PT yang telah membelanjakan dana dari pihak indusatri memiliki kewajiban untuk memasok riset dan ketersediaan SDM untuk keperluan dunia usaha.

Sebagai penutup, pemerintah harus segera menyusun skala prioritas untuk mencerdaskan bangsa, dan bisa jadi itu berawal dari bertambahnya anggaran pendidikan atau bahkan dipenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20%. Model sistem pendidikan harus didesain khusus dengan memperhatikan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, hak asasi setiap manusia. Satu catatan penting untuk pemerintah dan elit perguruan tinggi negeri, bahwa rakyat miskin menantikan pendidikan yang murah, yang terjangkau sesuai dengan daya beli mereka.

Tidak ada komentar: