Senin, 27 Juli 2009

"Orang Miskin Dilarang Sakit" *Sebuah Gugatan Terhadap Peran Pemerintah Di Bidang Kesehatan

Saat ini pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah belum sepenuhnya 100% berpihak kepada publik. Berbagai macam kepentingan, politik, kepentingan kelompok, serta kepentingan kapital ikut mempengaruhi kebijakan pelayanan yang diberikan kepada publik. Kultur di negara Indonesia yang masih feodal, memposisikan birokrat sebagai pihak yang malah dilayani, bukan melayani masyarakat.

Berbicara mengenai pelayanan kesehatan di Indonesia, pada kenyataannya pelayanan kesehatan kita memang amat liberal, bahkan lebih liberal bila dibandingkan dengan pelayanan kesehatan di Amerika Serikat yang sangat menjunjung tinggi liberalisme. Apa Buktinya? Pertama, pelayanan kesehatan di Indonesia masih sepenuhnya diserahkan kepada pasar dan berasaskan fee for service yang tidak diatur. Artinya setiap prosedur layanan akan dikenai tarif tersendiri. Pengertian menyerahkan pada mekanisme pasar adalah, setiap penyedia layanan (rumah sakit) menetapkan tarif sendiri dan pasien dapat mencari layanan mana yang dianggap sesuai dengan "keuangan" mereka. Kedua, di Indonesia belum ada lembaga yang mengawasi bahwa pasien akan mendapatkan layanan dengan kualitas yang terbaik dan tentu saja dengan harga yang pantas, terutama untuk orang yang miskin.

Kesehatan adalah sektor yang sangat signifikan dan berkaitan langsung terhadap kehidupan masyarakat. Sektor kesehatan ini seharusnya sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara untuk membiayai atau mensubsidi secara penuh. Dalam UUD 1945 Pasal 28 H Ayat (1) disebutkan "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". Kemudian pada ayat (2) disebutkan "Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan". Namun dalam kenyataannya di negara kita ini, masyarakat masih harus memberikan sebagian besar penghasilan mereka untuk membiayai pelayanan di bidang kesehatan. Hal ini dikarenakan sektor kesehatan mulai diprivatisasi sehingga masyarakat harus membayar mahal untuk bisa mengakses dan mendapatkan pelayanan yang maksimal. Pada akhirnya, pelayanan yang maksimal pun hanya bisa dirasakan oleh orang yang mempunyai kuasa dan uang yang cukup. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke bawah harus merasakan getirnya pengalaman hidup mereka sejalan dengan kemampuan ekonomi mereka yang terbatas.

Kenaikan tarif pelayanan kesehatan dibeberapa daerah adalah salah satu bukti ketidakberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin. Sebagai contoh pemberlakuan tarif baru berdasarkan Peraturan Walikota (Perwal) Kota Yogyakarta No. 52/2008 yang berlaku efektif mulai 2 Februari 2009 mengundang reaksi keras dari DPRD Kota Yogyakarta (KR, 27 Februari 2009). Kenaikan tarif ini berlipat dibanding tarif sebelumnya. Misalnya, tarif pelayanan poliklinik oleh dokter spesialis mengalami kenaikan hingga 800% atau delapan kali lipat. Dari Rp 4.500,00 menjadi Rp 37.500,00

Sementara itu di daerah lain, tarif Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo (RSMS) Purwokerto juga mengalami kenaikan sekitar 20%. Kenaikan ini mulai diberlakukan pada bulan Maret (KR, 5 Maret 2009). Tarif rawat inap di ruang kelas III RSMS dari Rp 90.000,00 menjadi RP 110.000,00. Sementara untuk untuk kelas II naik dari Rp 120.000,00 menjadi Rp 150.000,00 dan untuk kelas I naik dari Rp 135.000,00 menjadi Rp 200.000,00. Selain itu biaya pendaftaran juga dinaikkan dari Rp 6.000,00 menjadi Rp 20.000,00 setiap pasien.

Dalam bidang kesehatan, adanya sejumlah program seperti JPS, kompensasi BBM, biaya gratis bagi orang miskin, Jamkesmas dll, realitasnya tidak membawa kenyamanan bagi pihak pasien. Perlakuan diskriminatif dari para dokter dan tenaga medis memberi rasa sakit yang mendalam di hati pasien dan keluarga pasien. Obat-obatan yang diberikan asal jadi dan perhatian tenaga kesehatan juga asal-asalan saja. Bahkan kejadian berulang terjadi, tenaga kesehatan dan pihak rumah sakit memaksa membawa pulang pasien karena dianggap sudah sehat, padahal mestinya mereka masih dalam tahap perawatan. Bahkan yang memilukan, sebagian dari mereka harus mengakhiri hidup karena mereka benar-benar tidak mampu untuk berobat.

Beberapa kasus buruknya pelayanan kesehatan terhadap pasien miskin diantaranya kasus pasien Devi. Devi adalah seorang tunawisma yang menjadi korban kekerasan dan pemerkosaan hingga koma dan tak sadarkan diri selama enam hari. Karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadahi, Devi akhirnya meninggal. Masyarakat sekitar Pamulang Timur, lokasi dimana Devi ditemukan telah melaporkan tindakan kejahatan yang menimpa Devi kepada Polisi, tetapi tidak mendapatkan respon. Begitu juga ketika Devi dibawa ke Puskesmas, petugas kesehatan disana tidak mau menerima Devi dengan alasan tidak memiliki identitas yang jelas. Kemudian, seorang laki-laki dengan kondisi lemah (pasien HIV-AIDS) ditelantarkan di trotoar jalan oleh pihak RS Adam Malik Medan (Redaksi Pagi, Trans7). Di kabupaten Purbalingga, seorang pasien bernama Isroah dan bayinya tertahan di rumah sakit akibat tidak mampu membayar biaya persalinan sebesar Rp 6.800.000,00 di rumah sakit Harapan Ibu. Isroah adalah pasien pemegang kartu JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan), tetapi pihak manajemen rumah sakit menolak penggunaan kartu JPKM , bahkan Jamkesmas sekali pun (KR, 12 Maret 2009). Kisah pedih juga dialami seorang pasien anak di RSUD Denpasar juga ditahan oleh pihak rumah sakit akibat tidak mampu membayar biaya pengobatannya (Liputan pagi, AnteVe). Sementara itu, Nazir seorang balita di Banten harus menahan rasa sakit yang berkepanjangan akibat pipinya digerogoti tumor ganas. Kondisi kemiskinan, telah membuat kedua orang tuanya pasrah. Mereka tidak mampu membawa Nazir unruk berobat ke rumah sakit, karena untuk makan sehari-hari saja mereka kesulitan. Ironisnya tempat tinggal Nazir tidak jauh dari kantor pusat pemerintahan (Seputar Indonesia, RCTI). Mungkin masih banyak kasus-kasus serupa, namun tidak diekspose oleh media yang tentunya akan menambah daftar panjang kisah memilukan masyarakat miskin di negara kita.

Sebenarnya mahalnya biaya kesehatan adalah hal yang lumrah dan merupakan kecenderungan global, tetapi kalau pemerintahnya perhatian terhadap pelayanan kesehatan bagi rakyat, hal ini tidak akan menjadi masalah. Mungkin kita perlu belajar dari negara-negara lain. Singapura misalnya, menjadi negeri pengobatan terkemuka di ASEAN. Di Singapura terdapat RS KKH (Women's and Children's Hospital). RS milik pemerintah Singapura ini berorientasi non profit. RS KKH yang telah berusua 150 tahun dilengkapi dengan 18 centre layanan khususnya berbagai macam penyakit perempuan dan anak. Tempat pengobatan dirancang satu tempat baik untuk pendaftaran pasien, pengecekan awal, tindakan medis dan konsultasi, sehingga pasien tidak perlu bolak-balik dari satu tempat ke tempat lain. Pengambilan obat tidak jauh, karena apotik ada di ruang pengobatan. Sekitar 20.000 pasien internasional yang datang ke RS KKH per tahunnya.

Contoh lainnya, di negara Belanda pada setiap musim gugur para manula diwajibkan oleh pemerintah untuk vaksinasi agar mereka tidak terkena influenza. Kemudian setiap wanita yang berusia 30 tahun diwajibkan menjalani breast cancer test dan serangkaian tes lainnya yang semuanya itu atas biaya asuransi sosial. Sementara di negara Brunei, pemerintah juga telah menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang memadahi sehingga rakyat dapat menikmati pelayanan kesehatan tanpa memandang strata sosial.

Dasar teoritis pelayanan publik yang ideal menurut paradigma New Public Service (NPS) yang dikembangkan oleh Denhardt dan Denhardt (2007) adalah pelayanan publik harus lebih responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai-nilai publik. Nilai yang paling utama dalam NPS adalah orientasinya terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki warga negara untuk memperoleh setiap jenis pelayanan dengan baik. Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan warga negara dan kelompok komunitas.

Sementara, dalam pandangan Albrecht dan Zemke (1990:41) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek, yaitu sistem pelayanan, SDM pemberi pelayanan, strategi dan pelanggan (customer). Sistem pelayanan publik yang baik akan menhasilkan kualitas pelayanan publik yang baik pula. Suatu sistem yang baik memiliki dan menerapkan prosedur pelayanan yang jelas dan pasti serta mekanisme kontrol di dalam dirinya (built in control) sehingga segala bentuk penyimpangan yang terjadi secara mudah dapat diketahui.

Kaitannya dengan sumber daya manusia (SDM), dibutuhkan petugas pelayanan yang mampu memahami dan mengoperasikan sistem pelayanan yang baik. Dalam hal pelayanan kesehatan ini, persolan kesejahteraan bagi tenaga kesehatan juga harus menjadi perhatian. Misalnya bidan-bodan desa dan tenaga kontrak masih banyak yang belum menerima gaji bahkan ada yang berbulan-bulan baru dibayarkan, sedangkan setiap harinya mereka dihadapkan dengan pasien. Akibatnya mereka lebih banyak menghilang dari desa dan menghindar dari pasien karena mereka tidak dihargai haknya. Di sisi lain, dokter-dokter sibuk dengan praktek swastanya dan mengabaikan pasien yang ada di rumah sakit, padahal kesejahteraan mereka telah dibayar oleh rakyat. Di rumah sakit-rumah sakit, para tenaga medis lebih mengutamakan uang daripada jiwa manusia, rumah sakit tidak lagi memiliki jiwa sosial tetapi yang ada rumah sakit malah di kapitalisasi.

Selain itu, sistem pelayanan juga harus sesuai dengan kebutuhan para pelanggan atau pengguna. Organisasi harus mampu merespon kebutuhan dan keinginan pengguna, dengan menyediakan sistem pelayanan dan strategi yang tepat. Sifat dan jenis pelanggan yang bervariasi membutuhkan strategi pelayanan yang berbeda dan hal ini harus diketahui oleh petugas pelayanan. Karena itu petugas pelayanan perlu mengenali pengguna dengan baik sebelum dia memberikan pelayanan.

Dari diskusi di atas, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki pelayanan di bidang kesehatan, antara lain: Pertama, mendorong RUU Pelayanan Publik untuk lebih memperhatikan mekanisme dan model pelayanan publik yang tidak berbelit-belit dan ramah terhadap masyarakat yang membutuhkan; Kedua, mendorong terbukanya ruang partisipasi publik dengan jalan membuka seluas-luasnya kritikan, saran, komplain maupun masukan dari masyarakat; serta Ketiga, Meningkatkan kesejahteraan bagi tenaga kesehatan yang lebih layak sehingga kinerja mereka dapat meningkat disamping itu perlu dilakukan pelatihan SDM bidang kesehatan secara berkala sehingga mampu bekerja lebih baik lagi.

1 komentar:

rahmawati.fisip.untirta@blogspot.com mengatakan...

ingat pepatah..
"SEHAT ITU MAHAL"..
karena " SAKIT ITU LEBIH MAHAL"