Selasa, 18 Agustus 2009

”Demokrasi Yang Terpasung” (*Pelajaran Berharga Dari Kasus Prita Mulyasari)

Kebebasan berpendapat adalah salah satu dari sekian banyak ragam kebebasan yang dicoba diperjuangkan warga masyarakat tatkala kehidupan mengalami transformasinya yang nyata, kehidupan berbangsa yang terorganisasi sebagai kehidupan bernegara yang modern. Dengan menguatnya tuntutan-tuntutan kebebasan berpendapat ini, seiring menguatnya pula tuntutan warga masyarakat.. yang kini telah berstatus sebagai waraga negara, dan bukan lagi kawula negara.. untuk berkebebasan dalam berserikat

Wignjosoebroto (1996:71) mengatakan Indonesia adalah suatu negeri yang sesungguhnya tak memiliki tradisi demokrasi dengan kebebasan para warga masyarakat untuk mengeluarkan opini-opini guna mencadangkan alternatif-alternatif yang melawan kemapanan, dan untuk berserikat guna menggalang sinergi yang akan merealisasi opini-opini alternatif itu. Selain itu, Indonesia adalah suatu negeri yang sesungguhnya tak memiliki tradisi kultur politik yang egalitarian dengan hak-hak warga masyarakat untuk secara asasi diperlakukan tanpa diskriminasi apapun. Di negeri ini kekuasaan-kekuasaan itu kalaupaun tak terstrukturkan dalam bentuk monarkhi yang absolut (malah dengan keyakinan bahwa segala sumber kekuasaan itu bersifat supra natural) tentulah terstruktur dalam bentuk oligarkhi atau khususnya di komunitas-komunitas kota patriarkhi yang juga sekaligus membangun gerontokrasi. Tradisi demokrasi yang membuka peluang bagi siapapun yang bersosok manusia entah yang berposisi sebagai elit, entah yang ”Cuma” berposisi oknum-oknum yang tak bernama untuk tanpa hambatan diskriminatif apapun dapat ikut serta dalam setiap urusan publik di dalam masyarakat tidaklah sedikitpun dikenal.

Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga dan ibu dua orang balita yang ”dipaksa” harus mendekam selama 21 hari di tahanan dalam proses penyidikan kejaksaan di Tangerang akibat didakwa melanggar Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hal itu bermula dari email Prita, yang menceritakan ketidakpuasannya melalui email mengenai dilanggarnya haknya sebagai seorang konsumen jasa medis atas pelayanan medis di RS OMNI Internasional.

Sebenarnya, ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan hak dari seorang konsumen yang tidak puas atas pelayanan medis dari RS OMNI Internasional untuk melakukan public complaint terhadap kegagalan lembaga penyedia pelayanan (medis) dalam melaksanakan fungsinya. Pada tingkat penyidikan kepolisian di Tangerang sebenarnya pasal yang didakwakan terhadap Prita atas pengaduan dari RS OMNI Internasional terkait email Prita tersebut adalah pasal pencemaran nama baik yang terdapat dalam KUHP. Namun, Kejaksaan Negeri Tangerang menambahkan Pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dalam berkas penyidikan yang berimplikasi dilakukannya penahanan di Rutan Tangerang terhadap Prita atas dugaan melanggar ketentuan UU ITE tersebut. Dalam konteks perlindungan konsumen, semestinya hubungan antara Prita Mulyasari selaku konsumen pengguna jasa medis dari RS OMNI Internasional selaku lembaga penyedia jasa medis diletakkan dalam format penggunaan hak dari konsumen untuk menuntut pelayanan medis yang terbaik dari RS OMNI Internasional sebagai lembaga penyedia jasa medis. Hal itu ditegaskan pula UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran.

Menurut Ratminto (2008:39) Pelayanan publik yang berkualias mensyaratkan adanya kesetaraan hubungan atau kesetaraan posisi tawar antara pemberi pelayanan dan pengguna atau penerima jasa pelayanan. Oleh karena itu, posisi tawar pengguna jasa yang selama ini sangat lemah harus diperkuat. Penguatan posisi tawar pengguna jasa pelayanan ini dapat dilakukan antara lain dengan memberitahukan dan mensosialisasikan hak-hak dan kewajiban baik pemberi maupun pengguna jasa pelayanan. Hal semacam ini dikonsepkan sebagai Citizen’s Charter yang dirumuskan pertama kali di Inggris. Hal lain yang dapat dilakukan untuk memperkuat posisi tawar adalah melalui mekanisme ”exit dan voice” yang dikembangkan oleh Abert Hirschman sebagaimana dikutip oleh Jones (1940) dalam Ratminto (2008:72). Albert Hirschman mengatakan bahwa kinerja pelayanan publik dapat ditingkatkan apabila ada mekanisme ”exit dan voice”. Mekanisme ”exit” berarti bahwa jika pelayanan publik tidak berkualitas maka konsumen/klien harus memiliki kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggara pelayanan publik yang lain yang disukainya. Sedangkan mekanisme ”voice” berarti adanya kesempatan untuk mengungkapkan ketidakpuasan pada lembaga penyelenggara pelayanan publik.

Hak-hak untuk berserikat, berkumpul dan berpendapat merupakan prinsip yang secara tegas diakui dalam UUD 1945. Pasal 28F misalnya, disebutkan secara tegas hahwa ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperolah informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Kaidah-kaidah hukum pidana yang dikodifikasikan ke dalam kitab-kitab dapat ditiru dan atau diterima untuk diambil alih, akan tetapi ide dasarnya sebagai seperangkat norma positif yang harus difungsikan menjamin kebebasan warga negara untuk bisa berbuat apapun tanpa perlu takut dipidana, sering terabaikan dan terlupakan. Tak ayal lagi di negeri dimana elitnya tak segera menyadari esensi kontitusionalisme (juga menjiwai hukum pidana berikut hukum acaranya) akan menyebabkan hukum pidana itu lalu menjadi lebih dimengerti sebagai seperangkat kaidah untuk membenarkan tindakan penguasa untuk menghukum perbuatan apapun yang dilakukan orang, dengan sedikit perkecualian. Pasal-pasal pidana yang memang membenarkan tindak pemidanaan lalu lebih banyak bersifat enumeratif daripada limitatif. Dalam perkembangan yang demikian hukum pidana lalu terkesan sebagai hukum yang garang. Hukum akan gampang dihadirkan dimana-mana dengan wajahnya yang galak dan suka menghukum, namun banyak hadirnya hukum disitu tidak serta merta akan menghadirkan negara hukum. Banyaknya law memang tak selamanya bermakna maraknya rule of law, Wignjosoebroto (1996:74).

Sekalipun petinggi kejaksaan telah memerintahkan dilakukannya tindakan investigasi terhadap jaksa yang menangani kasus Prita yang telah melakukan penahanan dengan menambahkan dakwaan yang berbeda dari proses penyidikan di kepolisian, mengajarkan betapa bahayanya memiliki kekuasaan tanpa disertai moralitas profesi yang memadai. Lord Acton dalam Budiarjo (1938:99) dalam Ratminto (2008:72) mengatakan ”Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung untuk korup atau disalahgunakan, sedangkan kekuasaan absolute pasti akan disalahgunakan). Teori ”exit dan voice” ini sejalan dengan teori Lord Acton, artinya untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik diperlukan adanya kesetaraan posisi tawar antara konsumen/klien dengan lembaga penyelenggara pelayanan.

Tidak ada komentar: